APABILA ANDA MENJUMPAI ATAU MENGALAMI MASALAH TINDAK PIDANA HUBUNGI KAMI SIAGA SAT RESKRIM POLRES KUNINGAN. KAMI SIAP MEMBANTU ANDA

Jumat

SP2HP

SURAT PEMBERITAHUAN PERKEMBANGAN HASIL PENYIDIKAN



NO. LP. : LP/356/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 2 NOPEMBER 2009
TENTANG TINDAK PERSETUBUHAN THDP ANAK DIBAWAH UMUR



NO. LP. : LP/291/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 2 NOPEMBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN



NO. LP. : LP/283/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 10 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DGN PEMBERATAN (CURAT)




NO. LP. : LP/318/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 6 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN




NO. LP. : LP/302/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 5 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN




NO. LP. : LP/319/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 4 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN




NO. LP. : LP/269/B/VIII/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 2 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN




NO. LP. : LP/318/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 1 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN




NO. LP. : LP/319/B/X/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 2 OKTOBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN




NO. LP. : LP/285/B/IX/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 7 SEPTEMBER 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN




NO. LP. : LP/228/B/VII/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 15 JULI 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN



NO. LP. : LP/228/B/VIII/2009/JBR/WIL CRB/RES KNG
TANGGAL 10 AGUSTUS 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN




NO. LP. : LP/B/193-15/VI/2009/POLSEK
TANGGAL 15 JUNI 2009
TENTANG TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN





No Pol : B/34/V/2009 tgl 19 Mei 2009
PENCABULAN



No Pol : B/30/V/2009 tgl 18 Mei 2009
PERBUATAN TDK MENYENANGKAN




No Pol : B/31/V/2009 tgl 8 Mei 2009
PENCEMARAN NAMA BAIK




No Pol : B/33/V/2009 tgl 19 Mei 2009
CURANMOR


No Pol : B/32/V/2009 tgl 19 Mei 2009
CURANMOR






No Pol : B/176/V/2009 tgl 14 Mei 2009
PENCABULAN



No Pol : B/175/V/2009 tgl 13 Mei 2009
PENCEMARAN NAMA BAIK




No Pol : B/13/IV/2009 tgl 13 April 2009
PENGGELAPAN

No Pol : B/24/V/2009 tgl 11 Mei 2009
PENGEROYOKAN


No Pol : B/22/IV/2009 tgl 30 April 2009
PENCABULAN(klik gambar utk memperbesar)

Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Penyidik melalui HP

KAMI SIAP MELAYANI ANDA DENGAN CEPAT, TRANSPARAN, AKUNTABEL DAN TANPA IMBALAN




PENCEMARAN NAMA BAIK

No. 1
No. & Tgl LP : LP/18/B/I/2009/Polres, tanggal 21 Januari 2009
Perkara : Pencemaran Nama Baik, pasal 310 (2) KUHP
Pelapor : UMAR HIDAYAT Bin SUMARNO, swasta, Islam, Dsn. Cimulya Kulon Ds. Jagara Kec. Darma Kuningan
Terlapor : AGUNG JAENUDIN, 46 tahun, Pimpinan Redaksi Majalah Reformasi, Kelurahan Cirendang Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/05/I/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap 5 orang saksi dan 1 orang saksi pelapor.
  • Dilakukan pemanggilan terhadap Pimpinan Redaksi Majalah Reformasi dan yang bersangkutan di panggil untuk menghadap tanggal 9 Pebruari 2009

KORUPSI DAN ATAU PENGGELAPAN DLM JABATAN


No. 2
No. & Tgl LP : LP/16/B/I/2009/Polres, tanggal 19 Januari 2009
Perkara : Korupsi dan atau Penggelapan dalam Jabatan
Pelapor : MARNO SUMARNO Bin UHAR, Wiraswasta, Islam, Dsn. Cikawung Ds. Cihideung Hilir Kec. Cidahu Kuningan
Terlapor : EUIS SUSWATI, Kepala Desa Cihideung Hilir, Dsn. Cikawung Ds. Cihideung Hilir Kec. Cidahu Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/06/I/2009/Reskrim, 02 Januari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pemeriksaan terhadap para saksi (4 orang).
  • Dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan saksi dari pihak PU Bina Marga Kab. Kuningan yang membidangi program PJBM tahun 2008

PENCABULAN


No. 3
No. & Tgl LP : LP/B-08/I/2009/Polsek tanggal 13 Januari 2009
Perkara : Pencabulan dan atau Persetubuhan Pasal 294 (2), Pasal 290 (1) jo Pasal 286 KUHP
Pelapor : DARSONO Bin KANTA, swasta, Islam, Ds. Cieurih Cidahu KNG
Terlapor : JAENAL ARIFIN Bin ENDUN , 42 Thn, Sekdes, Dsn. Wage Cieurih Cidahu Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/11/I/2009/Reskrim Januari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pemeriksaan thd saksi dan terlapor
  • Telah diminta Ver ke RS Wijaya Kusumah
  • SPDP berkas perkara sudah dikirim ke Kejari Kuningan
  • Berkas sudah dikirim ke JPU (tahap I)

PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

No. 4
No. & Tgl LP : LP/04/B/I/2009/Polres, tanggal 09 Januari 2009
Perkara : Pencurian Dengan Pemberatan
Pelapor : ERWINA ERITA ULI, Wiraswasta, Jln. Nusa Indah Raya Ciporang Kuningan
Terlapor : MIMIN Binti HAMID, 29 Thn, Buruh, Dsn. Pojok Ds. Sarimangu Kec. Karang Nunggal Kab. Tasikmalaya
No. Pol. SP2HP : B/10/II/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pengiriman berkas perkara kepada Kejaksaan (tahap I)

PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR

No. 5
No. & Tgl LP : LP/01/B/I/2009/Polsek tanggal 04 Januari 2009
Perkara : Pencurian Kendaraan Bermotor
Pelapor : ENON SUHANAN Bin SAEDI, 35 thn, Wiraswasta, Dsn Pahing Ds. Pinara Kec. Ciniru Kuningan
Terlapor : YANA als BUYAN, als ARIDI bin NENDI, 26 Thn, Buruh, Dsn. Kr. Tengah Kutawaringin Kec. Selajambe Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/02/II/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Berkas Perkara dalam tahap Konsultasi dengan JPU

PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

No. 6
No. & Tgl LP : LP/44/B/XII/2008/Polsek tanggal 25 Desember 2008
Perkara : Pencurian dengan kekerasan
Pelapor : DEDE ARNOT Bin SUKARNA, pelajar, Islam, Ds. Mandalajaya Maleber Kuningan
Terlapor : MAT LOGAM EL FAJAR Bin ARIF ARDAWI, 19 Thn, buruh, Dsn. Puhun Ds. Sukamukti Kec. Jalaksana Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/09/II/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pengiriman berkas perkara kepada Kejaksaan (tahap I)

PENIPUAN


No. 7
No. & Tgl LP : LP/307/B/XII/2008/Polres tanggal 19 Desember 2008
Perkara : Penipuan
Pelapor : SULAIMAN Bin H. SUWARNA, swasta, Islam, Dsn. Wage Desa Bojong Kec. Cilimus Kuningan
Terlapor : MASTINO Alias TONI ANTONI, 30 Thn, Swasta, Kp. Kertasemboja Pegambiran Kec. Lemahwungkuk Kab. Cirebon
No. Pol. SP2HP : B/ /II/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pengiriman berkas perkara kepada Kejaksaan (tahap I)

PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No. 8
No. & Tgl LP : LP/300/B/XII/2008/Polres tanggal 13 Desember 2008
Perkara : Pencurian dengan kekerasan Pasal 365
Pelapor : IIKA RISKA BT BUCHORI, mahasiswi, Islam, Ds. Desa Cilayung Kec. Ciwaru KNG
Terlapor : TAOPIK HIDAYAT Bin Suryadi, 26 Thn, Swasta, Lingkungan Ciharendong Kuningan
No. Pol. SP2HP : B/08/II/2009/Reskrim, 02 Pebruari 2009
Perkembangan Penyidikan :
  • Telah dilakukan pengiriman berkas perkara kepada Kejaksaan (tahap I)

Sabtu

Melawan Trafficking

SELAIN ancaman badai pornografi, tindak kekerasan, gizi buruk, Ordha (orang dengan HIV/AIDS) dan penyalahgunaan narkoba, anak-anak Indonesia kini memperoleh ancaman bahaya trafficking (trafiking) atau perdagangan orang. Bahaya ini ada di depan mata, tetapi kita sering tidak menyadarinya, karena kelihaian para pelaku yang terorganisir rapih, sehingga kita malahan menganggap sebagai sebuah berkah, karena bisa menjadi penyelamat ekonomi keluarga.

Apakah trafiking itu? Menurut UU Nomer 23 tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, trafficking atau perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Ada empat hal sifat dasar trafiking, yaitu :

  • Bersifat manipulatif atau penyalahgunaan , yaitu penyimpangan dari rencana semula atau hal yang diinformasikan kepada korban. Pada saat membujuk dikatakan akan diberikan pekerjaan layak tetapi pada kenyataannya dijadikan budak, dieksploitasi, dipekerjakan pada pekerjaan buruk, dijadikan obyek transplantasi, dan sebagainya.
  • Ada transaksi, dalam trafiking terjadi transaksi uang antara calo, penjual dan pembeli/pemakai.
  • Tidak mengerti, yakni korban pada umumnya tidak mengerti bahwa ia akan menjadi korban dari tindak pidana, karena ketika akan bermigrasi dalam niatnya akan mencari pekerjaan atau tujuan lainnya yang tidak ada hubungan dengan sindikat tindak pidana.
  • Ada migrasi, yaitu perpindahan korban yang melampaui batas negara atau batas propinsi. Karena faktor jarak dan melampaui batas-batas administrasi, maka trafiking biasanya dilakukan oleh sebuah sindikat.


Mengapa harus dilawan?

Trafiking, khususnya perdagangan anak dan perempuan harus dilawan karena merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Kenyataan menunjukkan, bahwa trafiking telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir dan tidak terorganisir, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Keinginan untuk menyelamatkan anak dari ancaman trafiking didasari pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional, untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama.

Undang-Undang Dasar 1945 antara lain mengamanatkan dalam bagian Pembukaan bahwa negara dan pemerintah didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan umum. Trafiking memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum.

Lebih-lebih praktek trafiking selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban yang tanpa masa depan. Korban trafiking pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara pisik (anak-anak), psikis, maupun ekonomi.

Konvensi ILO No 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Anak Terburuk menyebutkan bahwa trafiking sebagai bentuk pekerjaan anak mutlak harus dilarang. Perdagangan anak bukan sebuah bentuk pekerjaan, namun suatu proses pengerahan dan atau pengangkutan dan penerimaan seorang anak atau orang dewasa untuk keperluan eksploitasi, di mana selama dalam proses itu hak-hak asasi manusia dilanggar.

Faktor utama dalam semua bentuk pekerjaan yang mutlak dilarang (perbudakan atau yang mirip dengan perbudakan, penjualan dan perdagangan anak, ijon, penghambaan, dan kerja paksa dan wajib kerja) adalah bahwa orang tidak bebas meninggalkan pekerjaannya atau merundingkan kondisi-kondisi lainnya. Perdebatan tentang definisi perdagangan atau trafiking diselesaikan pada tahun 2000 dengan hukum internasional yang menjelaskan bahwa anak (manusia yang berusia kurang dari 18 tahun) harus dianggap sebagai diperdagangkan, bahkan bila mereka telah diijinkan untuk bermigrasi untuk memperoleh pekerjaan. Dengan demikian trafiking tidak hanya merujuk pada anak-anak yang diculik dan dijual.

Mengapa terjadi trafficking

Trafiking terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena motif adopsi. Modernisasi di negara-negara Barat telah melahirkan tingkat kemakmuran tinggi yang membawa perubahan jalan pikiran tentang perkawinan dan keluarga. Di negara-negara Skandinavia, kaum wanita memilih tidak kawin, atau kalau pun kawin tidak ingin memiliki anak. Pemerintah bahkan sampai harus mengiming-iming hadiah besar bagi wanita yang mau melahirkan anak. Tetapi mereka adalah warga yang telah sukses dalam membangun ekonomi. Mereka mengabaikan segala iming-iming tersebut, bahkan rela mengeluarkan dana besar untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya. Pada sisi lain negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Berita hilangnya 300 anak pasca bencana Tsunami Aceh yang dilarikan oleh WorldHelp, sampai hari ini tidak jelas penyelesainnya, dan banyak pihak menduga anak-anak ini dilarikan ke Amerika. Selama tahun 2007 misalnya, Gugus Tugas Antitrafiking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan ada 500 anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia.

Untuk motif ini pedagang tidak hanya mengambil anak-anak yang sudah beranjak Balita, anak usia sekolah atau remaja saja, bahkan masih orok dan janin pun bisa diterima. Di perbatasan Indonesia-Malaysia misalnya, pada tahun 2003 harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai RM 18.000-25.000. sedangkan untuk orok bermata bundar dan kulit gelap dihargai RM 10.000-15.000.

Untuk yang masih dalam kandungan para calo-calo bandit akan mencari mangsa kaum perempuan yang hamil tanpa nikah atau korban perkosaan. Mereka dirayu dengan iming-iming akan diberi pekerjaan atau dikawini asal bersedia pergi ke luar negeri. Di luar negeri mereka ternyata dimasukkan dalam kamp penampungan khusus wanita hamil, setelah lahir sang ibu akan diusir dengan bayi harus ditinggal. Tentu sang Ibu tidak ikut menikmati uang karena sudah diambil si calo yang membawanya ke kamp tersebut.

Kedua, motif pemerkerjaan. Dengan memperkerjaan anak-anak tidak perlu membayar tinggi, bahkan tidak dibayar sama sekali kecuali tempat tidur dan makanan yang tidak layak. Dengan mempekerjaan anak keuntungan bisa diperoleh berlipat-lipat. Inilah yang disebut perbudakan. Motif pemerkerjaan juga terjadi pada dunia hiburan, dengan mempekerjalan anak perempuan bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar.

Ketiga, motif eksploitasi seksual. Motif ini paling banyak menimbulkan korban yakni dengan menjadikan anak-anak sebagai pelacur maupun bentuk eksploitasi lainnya. Korban pelavuran. Organisasi buruh internasional (ILO) memperkirakan 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia tahun 2004 adalah anak di bawah 18 tahun. Ini belum termasuk angka perempuan muda Indonesia yang menjadi pelacur di luar negeri. Mereka lebih susah dihitung karena umurnya selalu dipalsukan. Tetapi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan memperkirakan tidak kurang dari 30.000 perempuan muda Indonesia menjalani seks komersial di luar negeri. Data yang sesungguhnya di lapangan boleh jadi lebih dari itu.

Sebutan bagi mereka bermacam-macam seperti ayam kampung (Pontianak), barang (Medan dan Batam), ciblek (Semarang), telembuk (Indramayu), dan sebagainya.

Di Malaysia saja jumlah pekerja seks komersial cilik yang berasal dari Indonesia, yang berhasil dicatat Kepolisian Diraja Malaysia tahun 2001 berjumlah 2.451 orang, tahun 2002 sebanyak 2.151 orang, tahun 2003 sebanyak 2.112 orang, dan tahun 2004 sebanyak 2.158 orang.

Data di KPAI menunjukkan saat ini ada 3 juta TKW di luar negeri, 10 persen di antaranya bermasalah seperti soal pembayaran gaji yang tidak beres, menjadi korban kekerasan, paspor hilang, dan sebagainya. Dari jumlah yang bermasalah, antara 1 sampai 2 % atau antara 30.000 hingga 60.000 merupakan TKW korban trafiking yang mayoritas masih masuk kategori anak-anak.

Jepang dengan tradisi geisha menjadi lahan tujuan trafiking juga. Di masa lalu geisha adaah perempuan seniman yang memiliki keahlian merias diri, bermain musik, menari, dan seni kuliner. Tetapi belakangan arti geisha mengalami distorsi menjadi semacam hostes atau wanita penghibur. Di sebuah lokasi bernama kawasan air hangat, geisha malahan sam dengan pelacur. Ketika stok untuk geisha dalam arti pelacur tidak bisa dipenuhi oleh kaum wanita Jepang, maka dicarilah wanita-wanita dari luar negeri, dengan pilihan utama anak-anak karena semakin muda semakin tinggi nilai ekonominya.

Keempat, motif lainnya. Yang paling menonjol adalah untuk transplantasi organ tubuh seperti ginjal, liver, mata, dan sebagainya. Dalam kondisi terpaksa atau terancam, korban akan menyerahkan organ tubuhnya. Sasaran penjualan transplantasi adalah kota Bombay, India. Tetapi yang mengagetkan adalah temuan GTA MNPP) bahwa di Shanghai korban trafficking diambil ginjalnya bukan untuk transplantasi tetapi dibuat soup ginjal. Ada mitos di Shanghai, dengan menyantap soup ginjal maka akan menambah keperkasaan laki-laki. Semakin muda ginjal, semakin optimal keperkasaannya, maka semakin mahal pula harganya.

Proses Trafiking

Siapa sebenarnya pihak yang rentan terhadap trafiking? Anak-anak, gadis, dan perempuan yang berasal dari kelompok keluarga miskin yang tinggal di daerah pedesaan atau kumuh perkotaan, anak putus sekolah; mereka yang berasal dari anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit dan atau orang meningga dunia; anak korban kekerasan dalam rumah tangga; para buruh imigran; Anak jalanan; Bayi; Janda cerai akibat pernikahan dini; dan mereka yang menerima tekanan dari keluarga.

Untuk memperoleh sasaran, para calo melakukan berbagai modus operandi, seperti melalui penipuan; bujuk rayu; jebakan dan penyalahgunaan wewenang; jeratan hukum; jeratan jasa; kedok duta budaya di luar negeri-entertainment; adopsi ilegal; penculikan; dan penggantian identitas. Sedangkan cara kerja para trafiker yakni dengan melibatkan agen atau calo. Agen atau calo mendekati korban di pedesaan, pusat keramaian, kafe, restaurant, dan sebagainya.

Akan tetapi menurut Sekretaris Pelaksana GTA KNPP Dr Tubagus Rahmat Santika, pada tahun 2006 ada temuan yang sangat menarik. Para trafiker Indonesia bekerjasama dengan trafiker Malaysia. Trafiker Malaysia membujuk para tenaga kerja wanita (TKW) yang bermasalah yang mendekam di kamp Semenyih, Selangor, Malaysia. Trafiker mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), dan selanjutnya memulangkan TKW ke Medan. Di Medan para trafiker lokal menjemputnya kemudian membuatkan paspor dan menguruskan visa. Setelah dokumen lengkap, para TKW dikirim kembali ke Malaysia, dan kali ini untuk pekerjaan pelacur.

Pola kerja trafiker pada umumnya, setelah berhasil membujuk sasaran utamanya gadis-gadis belia, maka trafiker segera mengirim korban ke daerah tujuan dengan menggunakan moda transportasi darat, udara, dan laut. Untuk tujuan luar negeri, korban melengkapi diri dengan paspor dan visa turis/umroh. Seluruh biaya perjalanan, akomodasi, dan pengurusan dokumen menjadi tanggungan agen. Tetapi ternyata hal itu hanya semu, karena sesungguhnya seluruh biaya akan diperhitungkan dengan ‘’kerja’' yang akan dilakukan. Seorang ABG korban trafiking pernah mengungkapkan bahwa ia baru akan menerima bayaran bila telah 220 kali melayani laki-laki. Itulah biaya yang harus ditebus untuk keperluan transportasi, akomodasi, makan, pengurusan dokumen, baju, dan kosmetik.

Untuk mencapai daerah tujuan, trafiker telah menyusun agenda perjalanan secara teratur. Di tempat tujuan, agen menempatkan korban di rumah penampungan untuk beberapa waktu, sebelum korban mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan. Selama di penampungan inilah, agen mempekerjakan korban di bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil, dan rumah hiburan lain. Pada beberapa kasus, korban mulai terlibat pada kegiatan pelacuran. Selama proses tersebut, agen melakukan intimidasi, mengancam korban untuk tidak kabur; jika ingin keluar dari cengkeraman agen, korban harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan agen.

Lalu siapakah sebenarnya pihak yang menjadi trafiker? Para trafiker di Indonesia yang terindentifikasi adalah orang tua korban, paman/uwak korban, germo, majikan, dan pengelola tempat hiburan. Mereka terorganisasi dalam organisasi kejahatan internasional, sedangkan menurut Ruth Rosenberg, (2003), pelaku trafiker manusia adalah melibatkan lembaga dan perseorangan.

Untuk menjerat korban, menurut International Public Migrant Commission, para trafiker menerapkan cara-cara yang antara lain; memberikan pinjaman secara halus sehingga korban terjebak dalam jeratan hutang; menahan paspor agar korban tidak bisa melarikan diri; memberi tahu korban bahwa status mereka illegal dan akan dipenjara sebelum dideportasi; mengancam akan menyakiti korban atau keluarganya; mengisolasi korban sehingga tidak bisa berhubungan dengan pihak luar; membuat korban bergantung pada pelaku trafiking, dan sebagainya.

Akar Masalah

Akar masalah trafiking menurut kajian KPAI antara lain disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua yang memaksa anak untuk bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen dan calo untuk merekrut anak-anak dari keluarga miskin. Keberadaan agen tumbuh subur di desa-desa miskin untuk mempengaruhi orang tua agar mengijinkan anaknya untuk bekerja di kota sebagai pekerja rumah tangga, pelayan restoran, buruh pabrik, atau menikahkan anaknya dengan orang asing dengan sejumlah iming-iming yang menggiurkan.

Sebagian trafiking terjadi karena adanya diskriminasi gender; praktek budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia; pernikahan dini, kawin siri; konflik dan bencana alam; putus sekolah; pengaruh globalisasi; sistem hukum dan penegakkan hukum yang lemah; keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan sebagainya.

Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisir dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengusaha hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan perilaku manusia modern, dan sebaginya.

Peta Trafiking

Menurut hasil pemantauan KPAI hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah tujuan—transit—penerima trafiking orang. Daerah-daerah asal adalah Nanggroe Aceh Darrussalam; Sumatera Utara; Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Binjai; Sumatera Barat; Padang; Jambi, Riau; Kepulauan Riau; Sumatera Selatan; Palembang, Martapura, Peracak; Bengkulu; Lampung; Bandarjaya; DKI Jakarta; Jawa Barat; Sukabumi, Tangerang, Bekasi, Indramayu, Bandung, Kerawang, Bogor, Cianjur, Cirebon, Kuningan; Jawa Tengah; Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo, Magelang, Semarang, Boyolali, Solo, Wonogiri, Pekalongan, Tegal, Brebes, Purwodadi, Grobogan, Jepara, Rembang; Jawa Timur; Nganjuk, Madiun, Kediri, Surabaya, Blitar, Jember, Gresik; Bali; Denpasar, Trunyan, Karangasem, Kintamani, Bangli; Kalimantan Barat; Pontianak, Singkawang; Kalimantan Selatan; Banjarbaru; Kalimantan Timur; Samarinda, Sulawesi Utara: manado, Gorontalo;N Sulawesi Tengah; Sulawesi Selatan; Sulawesi Tenggara; Nusa Tenggara Barat; Nusa Tenggara Timur.

Sedangkan yang menjadi daerah transit adalah belawan, Medan, Padang Sidempuan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Tanjung Balai, Labuhan Batu, Tanjung Balai Karimun, Dumai, Tanjung Pangkor, Tanjung Pinang, Lampung Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bandung, Losari-Cirebon, Cilacap, Solo, Surabaya, Denpasar, Entikong, Pontianak, Badau Kapuas Hulu, Sintang, Balikpapan, Nunukan, Tarakan, Bitung, Pare-pare, Makasar, Watampone, Mataram, Ternate, dan Serui.

Sedangkan daerah penerima adalah Deli Serdang, Medan, Belawan, Serdang Bedagai, Simalungun, Jambi, Tanjung Balai Karimun, Dumai, Pekanbaru, Batam, Tanjung Pinang, Lampung Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bandung, sepanjang pantai utara, Sukabumi, Sawangan Depok, Baturaden, Solo, Bandungan Ungaran, Surabaya, Batu Malang, Denpasar, Gianyar, Legian, Nusa Dua, Sanur, Tuban, Kuta, Ubud, Candi Dasa, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Pantai Senggigi, Sumbawa, Kupang, Biak, Timika, Sorong, Mappi, Jayapura, dan Merauke.

Untuk trafiking ke luar negeri yang menjadi daerah asal adalah; Sumatera Utara, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Daerah transit adalah; Medan, Batam, Jakarta, Solo, Surabaya, Pontianak, Entikong, dan Nunukan. Sedangkan negara-negara penerima meliputi; Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, Australia, Perancis, dan Amerika Serikat.

Upaya Pemerintah

Melihat seriusnya persolan trafiking pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya pada tahun 2002 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 87 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan serta dibentuknya Satuan Tugas Nasional untuk menanggulangi kejahatan transnasional trafiking.

Ada 3 strategi yang digunakan yaitu; Korban trafiking harus dilindungi, pelaku harus dihukum berat, dan kita semua mengembangkan jejaring kelembagaan dengan aliansi global untuk menghapus trafiking.

Pada tahun 2002 sebuah momentum sejarah juga lahir, ketika Indonesia memiliki UU Nomer 23 tentang Perlindungan Anak, yang secara jelas menetapkan dalam pasal 83 bahwa setiap orang yang memperdagangkan , menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 dan paling sedikit Rp 60.000.000,00. Pasal 84 dan pasal 85 juga mengancam hukuman berat bagi pelaku transplantasi dan jual beli organ tubuh anak-anak.

Pemagaran trafiking mencapai puncaknya, ketika pertengahan tahun 2007 ini, pemerintah mengintrodusir UU No.21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Artinya, dari aspek penyediaan UU, upaya penghapusan trafiking ini telah dilakukan secara berlapis-lapis, termasuk ketentuan dalam KUHP.

Persoalannya adalah, apakah ketersediaan UU tersebut telah diikuti dengan penegakkan Undang-Undang? Pengalaman selama ini, untuk kasus-kasus trafiking dan sejenisnya, aparat penegak hukum lebih memilih KUHP yang hukumannya sangat ringan, tidak menggunakan UU yang bersifat lex specialis. Contohnya kasus penjualan keperawanan ABG (anak baru gedhe) di Menteng Atas, Jakarta, tahun 2005, pelaku hanya dituntut hukuman 6 tahun berdasarkan pasal 297 KUHP.

Peran Masyarakat

Praktek trafiking begitu marak karena kelihaian para pelaku tindak pidana; cukong, agen, bandit, pengguna. Oleh sebab itu tidak mungkin untuk menanggulangi hanya diserahkan kepada pemerintah, betapapun telah tersedia sejumlah peraturan perundang-undangan.

Peran masyarakat sangat dibutuhkan, baik secara kelembagaan maupun perseorangan.Orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana trafiking. Kita harus mengingatkan agar mereka tidak mudah bujuk rayu dan iming-iming kehidupan mudah mewah tanpa pekerjaan yang jelas karena seungguhnya hal tersebut akan menjerumuskan anak-anak dan perempuan khususnya.

Pada sisi lain, jajaran aparat hukum agar mengambil tindakan yang tegas dan hukum yang berat kepada para trafiker. Tanpa hukuman yang berat tidak akan ada efek jera kepada para pelaku. Apalagi bila hukum bisa dibeli.

Dan lebih dari itu, adalah tugas para Kepala daerah untuk mensejahterakan warganya, untuk bisa memperoleh pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang mencukupi sehingga warganya tidak mudah tergiur tawaran kerja di luar daerah/luar negeri yang ternyata derita panjang dalam hidupnya.

Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh para pemimpin saat ini !

Sekolah Bukan Tempat Aman Bagi Anak

Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.


Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan (Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.

Kekerasan meningkat

Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41 persen lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 persen tindak penganiayaan, sisanya tidak diketahui.

Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.

Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Kekerasan di sekolah

Pertanyaannya, mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak? Bukankah guru semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak setelah orangtua? Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan yang kian berat, baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial, kehidupan profesi, maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru melakukan tindak kekerasan terhadap murid.

Selain itu, anak-anak juga mengalami kekerasan yang dilakukan teman-teman sebaya melalui kegiatan perploncoan pada awal tahun ajaran. Berita perilaku kekerasan oleh teman sebaya yang dilakukan Geng Nero di Pati (Kompas, 19/6/2008) juga menjadi alasan mengapa orangtua mengkhawatirkan keamanan anak-anaknya di sekolah.

Tanggung jawab orangtua

Apa pun alasannya, sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Maka, selayaknya siapa pun menaruh perhatian lebih besar terhadap keamanan anak di sekolah.

Pertama, kita harus menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002 tentang prinsip perlindungan anak, yaitu the best interest for children (kepentingan terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan manajemen sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi dengan sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru terhadap siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke mana dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah.

Kedua, orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga dewasa. Karena itu, pengawasan seperti apa anak- anak diperlakukan oleh sekolah harus tetap diketahui orangtuanya.

Ketiga, birokrasi pendidikan harus lebih intens memantau budaya sekolah dan karakter para guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman secara pisik dan psikis selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru di masa kini bukan hanya berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih menyangkut aspek stabilitas mental, kapasitas intelektual, dan profesionalitas.

Sekolah jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.

Lebih dari itu, fakta-fakta kekerasan terhadap anak di sekolah bukan saja membuktikan bahwa sekolah bukan panacea bagi penyembuhan problem sosial, tetapi justru sebaliknya menjadi sumber masalah baru yang lebih berat dan kompleks.

Kekerasan terhadap anak di sekolah harus diwaspadai karena Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak.

Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat dan mengerikan, kita harus lindungi anak-anak Indonesia dari kekerasan di sekolah. Jadikan sekolah sebagai tempat pendidikan ramah anak. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.

Polemik RUU Pornografi terus bergulir

Jakarta - Polemik RUU Pornografi terus bergulir. Di mata Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) RUU juga harus memberikan sanksi yang sangat berat terutama bagi pelaku korporasi. "Bahkan bagi korporasi perlu pemberatan pemidanaan terhadap korporasi termasuk media massa, iklan, film layar lebar dll," ujar Ketua KPAI, Masnah Sari, dalam konferensi pers di Resto Natrabu, Jl Sabang, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2008).
Pemberlakuan hukuman bagi korporasi tersebut disesuaikan dengan KUHP dan peraturan yang terkait. Selain itu, antara sanksi pidana dan sanksi denda harus diberlakukan bersamaan. "Bukan bersifat pilihan. Pelaku selain terkena pidana juga harus terkena denda,"tambahnya. Untuk menguatkan pendapatnya, dia memaparkan hasil temuan KPAI bahwa 80 persen anak yang tersangkut kasus hukum terkait kasus pelecehan seksual dan perkosaan.
Perlakuan tersebut 100 persen di dahului dengan menonton materi pornografi. "Terlebih materi pornografi sangat personal dan murah serta mudah didapat. Seperti melalui internet, hp, komik, video dan majalah," tambahnya. Meski demikian, KPAI meminta agar RUU tidak multitafsir sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam implementasi dilapangan. "Bahkan kami minta bagi penegak hukum yang tidak memproses untuk masuk dalam kategori pornografi," pungkasnya.(asp/gah)

Apa itu (KPAI) ?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia .

Lembaga ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa dan darimana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu “ Demi Kepentingan Terbaik bagi Anak ” seperti diamanatkan oleh CRC (KHA) 1989.

Tugas KPAI melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan per-UU-an yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan pemantauan, evaluasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan serta pertimbangan kepada Presiden.

Keterangan :

A1 : Perkembangan hasil penelitian Laporan
A2 : Perkembangan hasil penyelidikan blm dapat ditindaklanjuti ke penyidikan
A3 : Perkembangan hasil penyelidikan akan dilakukan penyidikan
A4 : Perkembangan hasil penyidikan
A5 : SP3